SEBUAH DUNIA MILIK MEREKA

Diposting oleh Unknown , Kamis, 05 Februari 2015 04.49




sumber gambar : sosbud.kompasiana.com

Sehabis pulang kerja dan beberes kamar, tugasku selanjutnya sudah menunggu. Momong adik keponakkanku yang akan berusia 4 tahun mei 2015 mendatang. Masa-masa emas pertumbuhan. Masa dimana waktunya belajar banyak, tak hanya dari keluarga tapi juga mulai belajar dari lingkungan pergaulannya. Dengan teman-temannya. Pagi itu dek aura dan dini juga datang. Bermain bersama adikku. Hingga akhirnya aku sangat puas hanya memandangi mereka, sebuah kebahagiaan yang tak muluk.
Sebentar-sebentar berebut mainan, lalu bertengkar. Dan itu tidak bertahan lama, mereka sudah bermain dengan baik kembali. Seperti tak pernah ada pertengkaran dan perebutan mainan sebelumnya. Di zaman teknologi seperti sekarang ini, melihat mereka bersama dan bermain seperti ini seperti membawa kita pada euforia masa kecil dahulu. Dimana di zaman seperti ini anak-anak yang harusnya bermain bersama teman-temannya, justru asik dengan gadget di genggaman. Mereka bahkan sudah lebih ahli mengutak-atik aneka aplikasi di dalamnya, melebihi para orang-orang tua.
Melihat keceriaan anak-anak kecil itu seperti melihat dunia yang berbeda. Sebuah dunia yang hanya ada kepolosan, keluguan, keceriaan dan ketulusan. Dunia yang didalamnya memekar harapan-harapan di setiap pundak mereka untuk dunia yang lebih baik. kehidupan yang menjamin.
            Sebagai orang dewasa kita pernah menjadi seperti mereka. Hingga rasanya saat itu masih membekas dalam disk memori kita dan enggan untuk mendeletenya. Ketika kehidupan harus terus berjalan, tanggung jawab dan keadaan tak lagi sepolos dan seceria mereka, dunia mereka menjadi sebuah oase yang menghilangkan sejenak penat dalam jiwa. Hingga rasanya terasa ringan untuk menyunggingkan senyum kebahagiaan.
           
           










CerPen Marathon

Diposting oleh Unknown , Sabtu, 31 Januari 2015 04.15




“Oh kata”
Dan untuk kesekian kalinya pikiranku buntu. Imajinasiku terselimuti tabir yang tak kunjung bisa ku singkap. Penaku mandul sejak 2 jam yang lalu. Sementara harus ada sebuah cerita yang kulahirkan malam ini juga, dan besok aku harus ke kantor, menyetorkannya atau aku akan gugur sebelum maju dalam pertempuran sebuah lomba. 2 cangkir kopi dengan cream sudah ludes hanya untuk menemaniku menekur lembar kertas kosong, berharap sebuah ide cemerlang akan menghampiriku. Sudut-sudut keheningan terasa lembab, hawa dingin semilir memijat kening yang mengerut. Dan rasanya aku telah lupa bagaimana bentuk sebuah cerita pendek. telah begitu lama tak bersua dengannya. Entah apa yang kulakukan selama ini sehingga harus terlupa bagaimana rupanya, sedang aku berusaha menjadikannya napas dalam langkahku. Sementara kealpaan menjadi raja, kelenaan memusnahkan ingatan.
Waktu berdentang menunjuk tengah malam, kesesakan hatiku terdengar semakin pilu. Tak tuk tak tuk, penaku beradu dengan meja kayu, menyayat sembilu. Keremangan lampu yang kunyalakan, seharusnya bisa memantik barang sebuah ide, seperti biasanya dulu kulakukan. Tapi entah kenapa, kemandulan masih mengendap.
Ah, Aku terlupa sesuatu, tadi siang aku mendapatkan paketan dari mbak Dwi di Magetan. 2 buah buku karya Salim A.Fillah. mungkin membacanya akan membuatku bisa mendapatkan ide. Ku sobek plastik yang menyelimutinya, ku buka halaman demi halaman dengan perlahan hingga sampailah aku pada halaman terakhir, sebuah oase dari Imam An Nawawi.
“saat aku lelah menulis dan membaca
di atas buku-buku kuletakkan kepala
dan disaat pipiku menyentuh sampulnya
hatiku tersengat
kewajibanku masih berjebah
bagaimana mungkin aku bisa beristirahat?”
Ku baca berulang-ulang dengan takjim, tak terasa aku begitu tersindir dengan kata-kata itu. Ku tengok kertas yang tertempel dengan anggun di belakang pintu, sebuah cita yang harus kucapai ‘menggenggam dunia dengan pena”, kata kakak perempuanku,  sebuah cita-cita yang terlalu muluk, memang! Tapi guruku mengajarkanku untuk tidak takut bermimpi. Ada sebuah ungkapan
“tulislah sebanyak mungkin cita-cita, biarkan Tuhan yang akan memilihkan yang terbaik untukmu”.
Tapi aku tak meminta banyak, aku hanya meminta satu cita, harapan, keinginan dan apalah itu yang akan kutekuni dalam menghabiskan sisa waktuku didunia, agar kelak ketika ditanya apa yang sudah aku lakukan, aku akan bertutur dengan bangga, aku sudah menorehkan tinta-tinta untuk perubahan peradaban. Keren sekali bukan?. Toh bermimpi dan berharap itu gratis. Kata itu sengaja kutempelkan disana agar senantiasa aku ingat akan cita-citaku, namun nyatanya kesibukan dan kemalasan mengalahkan segalanya. menuhankan kelelahan hingga membuat cita semakin terasa jauh diangan. Menyapa dengan lembut pemikiran seakan waktu masihlah panjang. Masih ada waktu esok, hingga esok selalu berlalu tanpa kusadari.
Dan lagi-lagi aku terantuk, apa yang harus ku tulis. Dunia seakan terasa sangat sempit, kata membeku dalam kamar 3 kali 4 ku ini. Bintang gemintang masih menggantung dengan cantik di pekat malam, masih tak memberiku secercah ide untuk ku jadikan bahan cerita.
Namun perlahan semangatku bertumbuh, kuteringat lagi celoteh Riris, salah satu teman dekatku,
“Pernah tidak ya Budi Darma merasakan kejenuhan, kemalasan dan rasa putus asa?” tanyanya.
Saat itu aku menanggapinya dengan gurauan, mungkin saja pernah. Terbayang pula Asma Nadia, Andrea Hirata, ataukah Pramudya Ananta Toer, pernahkah juga mengalami kemandulan ide sepertiku? Kutanamkan keyakinan, bukankah imam an nawawi pun pernah mengalami kelelahan, dan itu manusiawi, namun Imam An Nawawi segera tersadar dan bangkit, sebuah kewajiban yang memantikkan semangatnya. kuhampiri kertas yang masih kosong. Ku tuliskan saja apa yang kurasakan sekarang. Masalah hasil, coba kutanamkan ketidakpedulian. Yang terpenting sekarang adalah menulis dan menulis. Satu baris kata telah kubuat, indah. Berlanjut ke baris berikutnya. Ajaib, penaku begitu ringan melenggak-lenggok. Kata begitu riang berbaris menunggu giliran untuk kutuliskan. Ku tulis apa yang kurasakan. Ini bukan cerita pendek, ini curahan hati. Ah biarkan, batinku antara setuju dan tidak setuju.
            “assholatu minna naum” aku terjaga dengan segera. Terantuk suara adzan di mushola sebelah. Jam 4 lebih. Ternyata aku tertidur di atas meja, diatas kertas yang tadi malam aku merasa telah mengisinya dengan baris-baris tulisan yang begitu ringan berbaris. Benar saja, tapi kenapa hanya ada satu bait tulisan. Kemana tulisan yang tadi malam aku tuliskan begitu banyak. Kemana curahan pedih hatiku yang buntu, kemana pula cerita tentang seorang pemuda menjumpai Ruh jibril di kamarnya, kuceritakan jibril terisak-isak menyaksikan sarang laba-laba bersemayam menggelayut ditumpukan buku-buku kusam di sudut kamar, debu mengendap disetiap permukaan. Kusam seperti jiwa tak tersentuh iman. Aku merasakan begitu nyata. dan saat ini nyatanya hanya ada satu bait tulisanku dalam kertas.
“Seorang pemuda berjalan gontai di keremangan malam, sebongkah tumpukan kertas lusuh mendekam di dekapannya, tangan kanannya mencengkeram tas hitam kusam dengan enggan. Rambutnya acak-acakan, cahaya menghilang dari wajahnya, tersisa kekuyuan yang bersemayam. Ia berhenti sejenak, menatap sebuah bangunan diujung jalan,  cahaya lampu masih memendar di ruangan pojok lantai 2. Suara mesin ketik manual terdengar dengan jelas di rongga kesunyian, ia terduduk di pinggir trotoar, dingin. mengambil sebuah pena dari dalam tas, menarik ujung penanya dari sudut kiri atas kertas yang sejak tadi didekapnya ke ujung kanan bawah. Begitupun sebaliknya ia ulangi. Sebuah senyum tersungging, entah senyum seperti apa kerna pekat yang membiaskan tabir penglihatan”
Hanya ini saja, pikirku kesal. Beranjak dengan keusangan hati, gemericik air keran sejenak menyejukkan kepenatan. Selesai bermunajat, meminta barang sepintas ide, kelancaran untuk menyelesaikan tulisanku. SK, sistem kebut pun kulakukan. Karena jam 10 nanti aku harus sudah menyetorkannya. Kuhadap lagi kertas putih yang telah terisi seperempat ini. Mulai menarikan penaku.
Jam setengah sepuluh aku berhasil menyelesaikan tulisanku dengan segenap kemampuan, dengan segenap imajinasi yang kupunya, segenap kemampuan menulis yang kumiliki. Meski tertatih namun ada kepuasan. Segera aku persiapkan diri. Lalu menuju kantor lomba yang tak begitu jauh dari tempat tinggalku. Rasa lega ketika berhasil menyodorkan buah karya maratonku ke seorang gadis cantik bertuliskan panitia di tanda pengenalnya yang menggantung di saku baju. Aku tak peduli bagaimana kualitas karyaku, aduh terlalu jauh sekali bicara mengenai kualitas. Selesai saja aku sudah lega.
“pengumuman 2 minggu lagi ya mbak” ujar gadis itu saat menerima karyaku. Ada waktu 2 minggu untuk menggelisahkan hati. aduhai, tapi ini bukanlah penentu hidup matiku, ini hanyalah lomba cerita pendek biasa. Tingkat kota tempat tinggalku. Tapi akan sangat bangga bila aku mampu menunjukkannya pada kedua orang tuaku. Berbagai pemikiran berseliweran di pikiran. Sudah lupakan. Aku berlatih menulis kembali, menuliskan setiap apa-apa yang kulihat, sangat sepele. Mulai dari tukang sayur yang genit, anak kecil depan rumah yang jatuh dari sepeda, hujan kemarin yang menyebabkan selokan depan muntah sampah-sampah, bahkan musim datangnya banyak nyamuk yang kini tiap malam membuatku tak bisa terlepas dari obat pembasmi nyamuk.
Aku terlupa bila hari ini sudah 2 minggu sejak aku begadang, lalu Sistem Kebut, hingga menyetorkannya ke kantor perlombaan. Juara lomba akan diumumkan di koran pagi ini. Segera saja kukebut sepeda menuju lapak. Ku buka halaman bagian pengumuman juara dengan tak sabar. Ada 2 kolom nama-nama terpilih, 20 besar pemenang yang akan di bukukan karyanya. Baris pertama, bukan. Kedua, bukan. ketiga, bukan lagi. Ah pasti ada, menyemangati diriku sendiri. dada berdebar-debar tak menentu. Tak perduli dengan tatapan heran penjaga lapak. Sampailah pada baris terakhir, Oh Tuhan ini namaku, benarkan. “Adzkiya.....” Degub jantungku semakin tak terkendali, lalu kuteruskan jariku menelusur lagi ke kata berikutnya, tertulis, dengan kerjapan mata tak percaya “namira”...
Harapanku luruh. Bukan. Tak kutemukan namaku terpampang disana. mungkin aku salah, kubaca ulang lagi. Tetap tidak ada tercetak atas namaku “Adzkiya Penadia”.

“Saat kita mati untuk memperjuangkannya
Kala itulah ruh kan merambahnya
Dan kalimat-kalimat itupun hidup selamanya”
-Sayyid Quthb-
















Nama : Linda Yulianti
Judul : CerPen Marathon