|
sumber gambar : sosbud.kompasiana.com |
Sehabis
pulang kerja dan beberes kamar, tugasku selanjutnya sudah menunggu. Momong adik
keponakkanku yang akan berusia 4 tahun mei 2015 mendatang. Masa-masa emas
pertumbuhan. Masa dimana waktunya belajar banyak, tak hanya dari keluarga tapi
juga mulai belajar dari lingkungan pergaulannya. Dengan teman-temannya. Pagi
itu dek aura dan dini juga datang. Bermain bersama adikku. Hingga akhirnya aku
sangat puas hanya memandangi mereka, sebuah kebahagiaan yang tak muluk.
Sebentar-sebentar
berebut mainan, lalu bertengkar. Dan itu tidak bertahan lama, mereka sudah
bermain dengan baik kembali. Seperti tak pernah ada pertengkaran dan perebutan
mainan sebelumnya. Di zaman teknologi seperti sekarang ini, melihat mereka
bersama dan bermain seperti ini seperti membawa kita pada euforia masa kecil
dahulu. Dimana di zaman seperti ini anak-anak yang harusnya bermain bersama
teman-temannya, justru asik dengan gadget di genggaman. Mereka bahkan sudah
lebih ahli mengutak-atik aneka aplikasi di dalamnya, melebihi para orang-orang tua.
Melihat
keceriaan anak-anak kecil itu seperti melihat dunia yang berbeda. Sebuah dunia
yang hanya ada kepolosan, keluguan, keceriaan dan ketulusan. Dunia yang
didalamnya memekar harapan-harapan di setiap pundak mereka untuk dunia yang
lebih baik. kehidupan yang menjamin.
Sebagai orang dewasa kita pernah menjadi seperti mereka.
Hingga rasanya saat itu masih membekas dalam disk memori kita dan enggan untuk
mendeletenya. Ketika kehidupan harus terus berjalan, tanggung jawab dan keadaan
tak lagi sepolos dan seceria mereka, dunia mereka menjadi sebuah oase yang
menghilangkan sejenak penat dalam jiwa. Hingga rasanya terasa ringan untuk
menyunggingkan senyum kebahagiaan.
“Oh
kata”
Dan untuk kesekian kalinya pikiranku buntu.
Imajinasiku terselimuti tabir yang tak kunjung bisa ku singkap. Penaku mandul
sejak 2 jam yang lalu. Sementara harus ada sebuah cerita yang kulahirkan malam
ini juga, dan besok aku harus ke kantor, menyetorkannya atau aku akan gugur
sebelum maju dalam pertempuran sebuah lomba. 2 cangkir kopi dengan cream sudah
ludes hanya untuk menemaniku menekur lembar kertas kosong, berharap sebuah ide
cemerlang akan menghampiriku. Sudut-sudut keheningan terasa lembab, hawa dingin
semilir memijat kening yang mengerut. Dan rasanya aku telah lupa bagaimana
bentuk sebuah cerita pendek. telah begitu lama tak bersua dengannya. Entah apa
yang kulakukan selama ini sehingga harus terlupa bagaimana rupanya, sedang aku
berusaha menjadikannya napas dalam langkahku. Sementara kealpaan menjadi raja,
kelenaan memusnahkan ingatan.
Waktu berdentang menunjuk tengah malam, kesesakan
hatiku terdengar semakin pilu. Tak tuk tak tuk, penaku beradu dengan meja kayu,
menyayat sembilu. Keremangan lampu yang kunyalakan, seharusnya bisa memantik
barang sebuah ide, seperti biasanya dulu kulakukan. Tapi entah kenapa,
kemandulan masih mengendap.
Ah, Aku terlupa sesuatu, tadi siang aku mendapatkan
paketan dari mbak Dwi di Magetan. 2 buah buku karya Salim A.Fillah. mungkin
membacanya akan membuatku bisa mendapatkan ide. Ku sobek plastik yang
menyelimutinya, ku buka halaman demi halaman dengan perlahan hingga sampailah
aku pada halaman terakhir, sebuah oase dari Imam An Nawawi.
“saat aku lelah menulis dan membaca
di atas buku-buku kuletakkan kepala
dan disaat pipiku menyentuh
sampulnya
hatiku tersengat
kewajibanku masih berjebah
bagaimana mungkin aku bisa
beristirahat?”
Ku baca berulang-ulang dengan takjim, tak terasa aku
begitu tersindir dengan kata-kata itu. Ku tengok kertas yang tertempel dengan
anggun di belakang pintu, sebuah cita yang harus kucapai ‘menggenggam dunia
dengan pena”, kata kakak perempuanku, sebuah cita-cita yang terlalu muluk, memang!
Tapi guruku mengajarkanku untuk tidak takut bermimpi. Ada sebuah ungkapan
“tulislah sebanyak mungkin cita-cita, biarkan Tuhan
yang akan memilihkan yang terbaik untukmu”.
Tapi aku tak meminta banyak, aku hanya meminta satu
cita, harapan, keinginan dan apalah itu yang akan kutekuni dalam menghabiskan
sisa waktuku didunia, agar kelak ketika ditanya apa yang sudah aku lakukan, aku
akan bertutur dengan bangga, aku sudah menorehkan tinta-tinta untuk perubahan
peradaban. Keren sekali bukan?. Toh bermimpi dan berharap itu gratis. Kata itu
sengaja kutempelkan disana agar senantiasa aku ingat akan cita-citaku, namun
nyatanya kesibukan dan kemalasan mengalahkan segalanya. menuhankan kelelahan
hingga membuat cita semakin terasa jauh diangan. Menyapa dengan lembut pemikiran
seakan waktu masihlah panjang. Masih ada waktu esok, hingga esok selalu berlalu
tanpa kusadari.
Dan lagi-lagi aku terantuk, apa yang harus ku tulis.
Dunia seakan terasa sangat sempit, kata membeku dalam kamar 3 kali 4 ku ini.
Bintang gemintang masih menggantung dengan cantik di pekat malam, masih tak
memberiku secercah ide untuk ku jadikan bahan cerita.
Namun perlahan semangatku bertumbuh, kuteringat lagi
celoteh Riris, salah satu teman dekatku,
“Pernah tidak ya Budi Darma merasakan kejenuhan,
kemalasan dan rasa putus asa?” tanyanya.
Saat itu aku menanggapinya dengan gurauan, mungkin
saja pernah. Terbayang pula Asma Nadia, Andrea Hirata, ataukah Pramudya Ananta
Toer, pernahkah juga mengalami kemandulan ide sepertiku? Kutanamkan keyakinan,
bukankah imam an nawawi pun pernah mengalami kelelahan, dan itu manusiawi,
namun Imam An Nawawi segera tersadar dan bangkit, sebuah kewajiban yang
memantikkan semangatnya. kuhampiri kertas yang masih kosong. Ku tuliskan saja
apa yang kurasakan sekarang. Masalah hasil, coba kutanamkan ketidakpedulian. Yang
terpenting sekarang adalah menulis dan menulis. Satu baris kata telah kubuat,
indah. Berlanjut ke baris berikutnya. Ajaib, penaku begitu ringan
melenggak-lenggok. Kata begitu riang berbaris menunggu giliran untuk
kutuliskan. Ku tulis apa yang kurasakan. Ini bukan cerita pendek, ini curahan
hati. Ah biarkan, batinku antara setuju dan tidak setuju.
“assholatu minna naum” aku terjaga
dengan segera. Terantuk suara adzan di mushola sebelah. Jam 4 lebih. Ternyata
aku tertidur di atas meja, diatas kertas yang tadi malam aku merasa telah
mengisinya dengan baris-baris tulisan yang begitu ringan berbaris. Benar saja,
tapi kenapa hanya ada satu bait tulisan. Kemana tulisan yang tadi malam aku
tuliskan begitu banyak. Kemana curahan pedih hatiku yang buntu, kemana pula cerita
tentang seorang pemuda menjumpai Ruh jibril di kamarnya, kuceritakan jibril
terisak-isak menyaksikan sarang laba-laba bersemayam menggelayut ditumpukan
buku-buku kusam di sudut kamar, debu mengendap disetiap permukaan. Kusam
seperti jiwa tak tersentuh iman. Aku merasakan begitu nyata. dan saat ini
nyatanya hanya ada satu bait tulisanku dalam kertas.
“Seorang
pemuda berjalan gontai di keremangan malam, sebongkah tumpukan kertas lusuh
mendekam di dekapannya, tangan kanannya mencengkeram tas hitam kusam dengan
enggan. Rambutnya acak-acakan, cahaya menghilang dari wajahnya, tersisa
kekuyuan yang bersemayam. Ia berhenti sejenak, menatap sebuah bangunan diujung
jalan, cahaya lampu masih memendar di ruangan
pojok lantai 2. Suara mesin ketik manual terdengar dengan jelas di rongga
kesunyian, ia terduduk di pinggir trotoar, dingin. mengambil sebuah pena dari
dalam tas, menarik ujung penanya dari sudut kiri atas kertas yang sejak tadi
didekapnya ke ujung kanan bawah. Begitupun sebaliknya ia ulangi. Sebuah senyum
tersungging, entah senyum seperti apa kerna pekat yang membiaskan tabir
penglihatan”
Hanya ini saja, pikirku kesal. Beranjak dengan
keusangan hati, gemericik air keran sejenak menyejukkan kepenatan. Selesai
bermunajat, meminta barang sepintas ide, kelancaran untuk menyelesaikan
tulisanku. SK, sistem kebut pun kulakukan. Karena jam 10 nanti aku harus sudah
menyetorkannya. Kuhadap lagi kertas putih yang telah terisi seperempat ini.
Mulai menarikan penaku.
Jam setengah sepuluh aku berhasil menyelesaikan
tulisanku dengan segenap kemampuan, dengan segenap imajinasi yang kupunya,
segenap kemampuan menulis yang kumiliki. Meski tertatih namun ada kepuasan.
Segera aku persiapkan diri. Lalu menuju kantor lomba yang tak begitu jauh dari
tempat tinggalku. Rasa lega ketika berhasil menyodorkan buah karya maratonku ke
seorang gadis cantik bertuliskan panitia di tanda pengenalnya yang menggantung
di saku baju. Aku tak peduli bagaimana kualitas karyaku, aduh terlalu jauh
sekali bicara mengenai kualitas. Selesai saja aku sudah lega.
“pengumuman
2 minggu lagi ya mbak” ujar gadis itu saat menerima karyaku. Ada waktu 2 minggu
untuk menggelisahkan hati. aduhai, tapi ini bukanlah penentu hidup matiku, ini
hanyalah lomba cerita pendek biasa. Tingkat kota tempat tinggalku. Tapi akan
sangat bangga bila aku mampu menunjukkannya pada kedua orang tuaku. Berbagai
pemikiran berseliweran di pikiran. Sudah lupakan. Aku berlatih menulis kembali,
menuliskan setiap apa-apa yang kulihat, sangat sepele. Mulai dari tukang sayur
yang genit, anak kecil depan rumah yang jatuh dari sepeda, hujan kemarin yang menyebabkan
selokan depan muntah sampah-sampah, bahkan musim datangnya banyak nyamuk yang
kini tiap malam membuatku tak bisa terlepas dari obat pembasmi nyamuk.
Aku terlupa bila hari ini sudah 2 minggu sejak aku
begadang, lalu Sistem Kebut, hingga menyetorkannya ke kantor perlombaan. Juara
lomba akan diumumkan di koran pagi ini. Segera saja kukebut sepeda menuju
lapak. Ku buka halaman bagian pengumuman juara dengan tak sabar. Ada 2 kolom
nama-nama terpilih, 20 besar pemenang yang akan di bukukan karyanya. Baris
pertama, bukan. Kedua, bukan. ketiga, bukan lagi. Ah pasti ada, menyemangati
diriku sendiri. dada berdebar-debar tak menentu. Tak perduli dengan tatapan
heran penjaga lapak. Sampailah pada baris terakhir, Oh Tuhan ini namaku,
benarkan. “Adzkiya.....” Degub jantungku semakin tak terkendali, lalu
kuteruskan jariku menelusur lagi ke kata berikutnya, tertulis, dengan kerjapan
mata tak percaya “namira”...
Harapanku luruh. Bukan. Tak kutemukan namaku
terpampang disana. mungkin aku salah, kubaca ulang lagi. Tetap tidak ada
tercetak atas namaku “Adzkiya Penadia”.
“Saat
kita mati untuk memperjuangkannya
Kala
itulah ruh kan merambahnya
Dan
kalimat-kalimat itupun hidup selamanya”
-Sayyid
Quthb-
Nama
: Linda Yulianti
Judul
: CerPen Marathon